ini SENI & BUDAYA

Hujan Bulan Juni Telah Kembali

Hujan Bulan Juni (1994), buku puisi legendaris karya sastrawan Sapardi Djoko Damono kembali diluncurkan di Studio Teater Garasi Jalan Bugisan Selatan No 36 A Tegal Kenongo, Jogja, Rabu (23/6/2010).

“Kali ini saya dan kawan-kawan mencoba menjual buku tanpa toko, memasarkannya secara independen. Ini adalah peluncuran ulang kumpulan puisi Hujan Bulan Juni bersamaan dengan diluncurkannya novel Pengarang Belum Mati, sekuel Pengarang Telah Mati,” ungkap Sapardi, Guru Besar Fakultas Sastra UI, dalam sambutannya.

Bersama tim kerjanya di Editum, penerbitan miliknya, Sapardi kini mempersiapkan peluncuran ulang sekitar 40 karya berupa kumpulan essai, puisi, buku sastra budaya, cerita dan terjemahan. Setidaknya 14 karya telah dicetak ulang dan lainnya dalam proses ketik ulang dan persiapan cetak ulang.

Beberapa buku yang telah diluncurkan diantaranya DukaMu Abadi (1969), Mata Pisau (1974), Perahu Kertas (1983), Sihir Hujan (1984), Hujan Bulan Juni (1994), Arloji (1998), Ayat-ayat Api (2000), Mata Jendela (2002), Ada Berita Apa Hari Ini, Den Sastro? (2002), dan Kolam (2009).

Hadirnya kembali karya Sapardi malam itu dibarengi dengan peluncuran Cello, buku kumpulan cerita karya Waluya DS.

Sapardi Djoko Damono (kanan), Rachmat DJoko Pradopo (tengah) dan Waluyo DS dalam peluncuran kembali kumpulan puisi Hujan Bulan Juni dan peluncuran buku Cello, kumpulan cerita kaya Waluyo DS, Studio Teater Garasi, Rabu (23/6/2010).
Sapardi Djoko Damono (kanan), Rachmat DJoko Pradopo (tengah) dan Waluyo DS dalam peluncuran kembali kumpulan puisi Hujan Bulan Juni dan peluncuran buku Cello, kumpulan cerita kaya Waluyo DS, Studio Teater Garasi, Rabu (23/6/2010).

Mengenai karya sastra secara umum, Waluyo berujar bahwa usaha penulisan karya sastra perlu didukung banyak pihak salah satunya mereka penikmat karya sastra. “Peluncuran buku ini menunjukkan bahwa karya sastra masih banyak peminatnya dan mereka membutuhkan karya baru untuk dinikmati,” ujarnya.

Sementara, rekan sesama penulis, Rachmat Djoko Pradopo, Guru Besar FIB UGM, menilai bahwa Cello menonjolkan sisi kejawaan dalam ceritanya.

Menurut Rachmat buku tersebut merupakan buku semi autobiografi yang merangkum cerita diri, keluarga dari anak dan istri juga sahabat-sahabat Waluyo. “Kekuatan yang menonjol justru ada pada cerita yang seperti tidak memiliki plot dan berakhir tragis, beberapa diantaranya terasa aneh dalam akhirnya,” katanya.

Pembacaan dan peluncuran puisi serta kumpulan cerita diselingi beberapa penampil dari pembacaan puisi, pembacaan cerpen, musikalisasi puisi oleh aktor-aktor Teater Garasi, elektrik musik oleh Belkastrelka serta keroncongan Irama Tongkol Teduh. Semua penampil musik menyuguhkan puisi yang dimelodikan seperti Hujan Bulan Juni dan Ayat-ayat Api.

Mengakhiri pengantarnya, Waluyo berkalimat sambil berpromosi untuk membeli hasil karyanya. “Yang berminat terhadap karya sastra, belilah buku saya dan rekan-rekan saya. Yang dibaca bukan nasib saya namun karya yang saya tuangkan dalam buku.”

Pamuji Tri Nastiti/HARIAN JOGJA

Leave a Reply

Fill in your details below or click an icon to log in:

WordPress.com Logo

You are commenting using your WordPress.com account. Log Out /  Change )

Twitter picture

You are commenting using your Twitter account. Log Out /  Change )

Facebook photo

You are commenting using your Facebook account. Log Out /  Change )

Connecting to %s