Menjadi pribadi yang ‘sadar’ tidaklah mudah. Kesadaran, apalagi secara tipikal bagi perempuan bisa dibilang hanya separuh saja, sisanya perasaan. Katanya. Begitulah pandangan keseharian yang telah membudaya. Dalam hal ini, saya menyejajarkan kesadaran dengan pikiran. Perempuan banyakan ‘makan ati’, sedikitnya mikir. Katanya lagi.
Kesadaran, menurut saya adalah kunci. Ia yang menjadikan pribadi begitu mengenal diri. Saat kita melakukan kesalahan; menyadari berlaku luput. Apalagi ketika menjalankan hal baik, sangat mungkin dilakukan dengan tingkat sadar yang utuh.
Utuh yang bagaimana? Ya sadar, bahwa aku mencintaimu, misalnya; jadi jatuhnya tidak terbuai rayuan gombal dan masih bisa berpikir kalau mau dikibulin. Atau dengan tenang bisa mongontrol enggak kalap belanja kosmetik sehabis gajian, apalagi gincu dan minyak wangi yang di rumah belum menuju kedaluwarsa. Bisa berpikir bahwa kemauan diri itu ada batasnya. Begitu, bukan? Kalau iya berarti sedang dalam tataran sadar. 😀
Begitu bergunanya memiliki kesadaran. Tampaklah memesona saat pribadi mampu mengendalikan diri. Menerima bahwa diri ini tidak berdaya, pun menyikapi dengan baik ketika jiwa ini begitu bersorak gembira. #MemesonaItu Kesadaran. Dalam situasi apa pun.
Lalu, bagaimana menuju #MemesonaItu ? Setidaknya, mau tidak mau, suka tidak suka harus berani tegas pada diri sendiri. Mau bercermin, menunjuk hidung sendiri. Susah? Memang. Apalagi saat situasinya kita di pihak salah. Jangan-jangan memang terbiasa gengsi mengakui kesalahan? Bisa jadi, sering banget. Tetapi kembali lagi, pribadi yang sadar biasanya yang legawa dan berani bersikap; menilai baik maupun buruk dalam diri. Itu tidak cukup mudah, memang. Ia akan belajar.
Saya mencoba mengurai dari salah satu ungkapan Kartini, tokoh emasipasi; “dan biarpun saya tiada beruntung sampai ke ujung jalan itu, meskipun patah di tengah jalan, saya akan mati dengan merasa berbahagia, karena jalannya sudah terbuka dan saya ada turut membantu mengadakan jalan yang menuju ke tempat perempuan Bumiputra merdeka dan berdiri sendiri.”
Kartini adalah contoh nyata pemilik pesona, Ia menghidupi kesadaran diri. Ia menyadari telah memiliki kelemahan, namun tetap berjiwa besar dan mencoba meraih kebangkitan jiwa. Kartini memegang erat dua sisi hidup, setidaknya Ia nyatakan dengan kalimat “Dari kegelapan menuju cahaya” atau lebih populer “Habis gelap terbitlah terang.” Seolah, Ia mengamini hal-hal baik akan tumbuh meskipun berdampingan dengan hal-hal tak baik. Lagi-lagi, kesadaran ada di situ.
Dalam bait lain tulisan surat kepada sahabatnya, Kartini pun menegaskan, bahwa “Tidak ada sesuatu yang lebih menyenangkan, selain menimbulkan senyum diwajah orang lain, terutama wajah yang kita cintai.” Bukan tidak mungkin, bahwa senyum itu bagian dari kesadaran(nya).
Lagi-lagi, kesadaran itu kunci. Terlebih saat kita terpuruk, bersedih, dan melakukan kesalahan. Energi diri seringkali akan terseret, terkikis, membuat lunglai. Dalam keseharaian: pekerjaan akan berantakan, rumah belepotan, hati bisa amburadul.
Di sinilah, -menurut banyak sumber dari obrolan dan bacaan- kesadaran meski itu kecil, akan menyelamatkan. Bagaimana kesadaran bisa hadir? Perlu upaya untuk menumbuhkannya. Hal paling sederhana bisa dimulai dengan ‘melihat’ napas kita. Saat kita tahu bahwa kita masih bernapas, merasakannya, saat itu juga kesadaran muncul. Lihat dan menenangkan.
Bagaimanapun juga, dalam kondisi sulit, menumbuhkan kesadaran juga tidak mudah. Saya pun demikian. Alhasil, pemilik kesadaran, bagi saya, adalah pribadi luar biasa. Ia yang tangguh dan diam-diam membuat terpikat. Bagi pemilik kesadaran, #MemesonaItu memancar dari dalam diri.