ini SENI & BUDAYA

Melestarikan Gamelan Caosan Tutup Ngisor, Persembahan untuk Leluhur

Suatu hari di Muntilan dalam rangka liputan piket Lebaran 2009.  

panggung tjipta boedaja tutup ngisor (5)

Gamelan Caosan sebagai tradisi turun temurun kembali mengalun di Panggung Tjipta Boedaja, Desa Tutup Ngisor, Muntilan, Jawa Tengah.

Gamelan Caosan bisa diartikan memberikan persembahan kepada Tuhan dan leluhur. Gelaran ini diselenggarakan di Tutup Ngisor. Seni tradisional Jawa ini biasanya dilakukan tepat di hari pertama bulan Syawal.

Tradisi nggendhing  ini sejak 2007 menjadi kebiasaan yang dikaitjan dengan hari keagamaan, karena dilakukan setiap selesai Shalat Id. Sebelumnya pentas dilakukan lebih sebagai pemujaan atau ungkapan syukur masyarakat Tutup Ngisor kepada Tuhan dan leluhur.

Gendhing gamelan yang diperdengarkan adalah laras pelog dengan tujuh tahap atau tema yakni Ladran Sri Wilujeng (syukur atas keselamatan), Ladran Subokastawa (menghadap Tuhan/leluhur), Ladran Sri Kacarios (sendika Ratu), Ladran Sri Rejeki (permohonan rejeki), Ladran Sri Dandang (tolak bala), Ladran Asmaradana (ungkapan syukur dan gembira), pungkasan ditutup dengan Ladran Pangkur (pamitan).

sitras (1)Menurut Sitras Anjalin, Sesepuh Komunitas Tjipta Boedaja Merapi, Gamelan Caosan ini adalah kesenian biasa yang diturunkan dari para leluhur yang kemudian diyakini menjadi sebagai bentuk dari suara permohonan dan ungkapan syukur untuk para leluhur.

Gamelan yang dimainkan pada setiap 1 Syawal ini diperdengarkan selepas Shalat Id  oleh para pemuda. Karena dimainkan selepas Shalat Id, Gamelan Caosan akan mengalun kurang lebih 1 jam di pagi hari, biasanya dimulai pukul 09.00 WIB.

Gamelan Caosan menjadi berbeda dengan gelaran gendhing gamelan umumnya karena dipentaskan pada pagi hari. Kebanyakan dari Gamelan Jawa dimainkan pada malam hari seperti pada waangan dan kethoprak.

“Ini satu-satunya gamelan yang dimainkan khusus pada pagi hari” terang Sitras disela alunan gendhing gamelan, kala itu Lebaran 2009.

Para pemain Gamelan Caosan akan setelah menjalankan Shalat Id berkumpul di Panggung/ Sanggar Tjipta Boedaja, Desa tutup Ngisor. Kebanyakan dari mereka adalah para pemuda.

Menurutnya, para pemuda banyak memainkan Gamelan Caosan ini selain untuk tetap menyambung tradisi ini, juga karena para orang tua atau sesepuh di Tutup Ngisor akan lebih sibuk menerima tamu saat hari raya. Setelah masing-masing berada pada alat musik yang akan dimainkan, dengan segera gamelan Caosan akan dimulai.

Uniknya,sebelum ‘pentas’, para wiyaga seperti penabuh kendang, pemukul gamelan, penabuh gong dan lainnya tidak disatukan dalam latihan terlebih dahulu.

“Tidak ada gladi resik, kalau sudah terbiasa ngamel tidak akan kesulitan,” lanjut Sitras. Menurutnya, laras Gamelan yang dimainkan dalam Caosan telah biasa dimainkan. panggung tjipta boedaja tutup ngisor

Lain dari pentas seni lainnya, Gamelan Caosan tidak menunggu penonton berkumpul untuk memulai ‘pertunjukan’. Jika wiyaga atau para penggamel sudah datang dan siap, gendhing demi gendhing kan dimainkan sesuai dengan urutan ladran. Sesekali terdengar ura-ura (nyanyian guman) para wiyaga untuk mengimbangi bebunyian gamelan.

Dari tujuh ladran yang dimankan, setiap ladran kurang lebih dimainkan selama 10 menit. Pagi itu, Gamelan Caosan dimainkan oleh 12 orang dengan pakaian surjan, jarikan, dan mengenakan blangkon. Pakaian tersebut ternyata juga dikenakan masyarakat saat keliling dari rumah ke rumah saat hari raya Idulfitri.

Saya telah menuliskan cerita berikut untuk HARIAN JOGJA, media di mana saya berkarya waktu itu.

Leave a Reply

Fill in your details below or click an icon to log in:

WordPress.com Logo

You are commenting using your WordPress.com account. Log Out /  Change )

Facebook photo

You are commenting using your Facebook account. Log Out /  Change )

Connecting to %s