ini TENTANG SESEORANG

Surajiyem ngalab berkah

Membatik menjadi kesehariannya. Surajiyem, 49, warga asal Jigudan, Triarjo, Pandak, Bantul merupakan satu dari delapan pembatik di bangsal pintu masuk kompleks Keraton Kilen, kediaman Sri Sultan Hamengku Buwono X, Jogja. Ia membatik sejak kelas satu sekolah dasar. Kala itu, Surajiyem seringkali melihat ibunya, Kinem, 80, saat membatik kain untuk dijual di sekitar pasar Bantul.

Sebelum membatik di kompleks Keraton Jogja, Surajiyem beberapa kali berpindah pekerjaan. Pilihan membatik memang tidak jauh dari kesehariannya. Ia dulunya sempat bekerja membatik di pedagang batik Bintaran dan pedagang batik Patangpuluhan, dua daerah di Kota Jogja. 13 tahun lalu, pada 1999 ia diajak teman untuk membatik di Keraton. Temannya tidak kerasan, ia justru membatik sampai sekarang.

Isti Pak Nadi itu membatik mulai pukul 09.00 WIB hingga 15.00 WIB. Ibu dua anak dengan dua cucu itu bekerja bolak-balik dari Bantul ke Jogja. Hampir setahun lalu, ia mulai bekerja naik kendaraan bermotor, sebelumnya perjalanan pulang pergi ditempuhnya dengan sepeda.

 

Surajiyem membatik di kompleks Keraton Kilen, Jogja

Bersama pembatik-pembatik lainnya, Surajiyem bekerja secara borongan dengan upah Rp3.000 tiap hari. Kebutuhan makan dan minum ia penuhi sendiri selama bekerja. Upah itu akan mendapat tambahan Rp200.000 jika satu helai kain ia rampungkan batiknya. Dari ceritanya, satu bulan paling tidak hanya menyelesaikan satu lembar kain batik dengan bonus Rp10.000.

Soal pendapatannya itu Surajiyem bertutur santai, “Mau dapat berapapun kalau hati saya tentrem, apalagi  kebutuhan-kebutuhan saya ya bisa dipenuhi kok,” katanya pada saya.

Bahkan hasil jerih payah membatik dan dari pendapatan suaminya sebagai pedagang keliling mampu mengantarkan anak keduanya menjadi salah satu perwira angkatan udara yang kini bertugas di Sulawesi. Selain itu, pengalaman membatik sempat mengantarnya berkunjung ke negeri Sakura hingga enam kali. Ia mengaku diajak kelompok kerajinan untuk mendukung stan pameran di Jepang. “Di sana ya praktik mbatik, saya dibilang ahli batik, padahal kerjaan saya ya bisanya cuma mbatik,” katanya.

Selama membatik di kompleks Keraton, Surajiyem berada dibawah dhawuh BRAy Murdokusumo. Dari Gusti Murdo itulah, order batik tulis sering dipesan darinya dan pembatik lainnya. Motif batik yang dibuat seringkali memenuhi pesanan Gusti Murdo yang mendapat pesanan dari konsumen. Beberapa motif diantaranya sidomukti, sidoluhur, sidoasih, sekar jagad. “Tapi paling seneng kalau mbatik parang apalagi yang motifnya besar-besar, soale gelis (cepat selesai),” katanya.

Mengenai pesanan batik dari kerabat keraton, Surajiyem mengaku hingga kini banyak para gusti yang memesan batik dari para pembatik di lingkungan keraton. Meski tidak dhawuh secara langsung namun kebanyakan kerabat keraton masih banyak mengenakan batik tulis.

Mengenai motif batik yang paling banyak diminati, Surajiyem mengatakan kini banyak dipesan batik HB IX. Sementara jika mengerjakan diluar pesanan, kain-kain batik tersebut dititipkan ke beberapa toko batik ternama di Jogja. Harga batik tulis berkisar antara Rp 500-950 ribu bahkan lebih. Sedangkan untuk kombinasi tulis-cap Rp300-500 ribu. Dengan penghasilan yang tidak besar Surajiyem mengaku tetap menikmati pekerjaan. Apa yang dilakukan disebutnya sebagai ngalab berkah.

Leave a Reply

Fill in your details below or click an icon to log in:

WordPress.com Logo

You are commenting using your WordPress.com account. Log Out /  Change )

Facebook photo

You are commenting using your Facebook account. Log Out /  Change )

Connecting to %s