ini TENTANG SESEORANG

[I] Marzuki Mohammad ‘Juki HipHop’ konsisten gunakan Bahasa Jawa

Marzuki. Foto ini diambil setelah sesi wawancara, Februari 2011.
Marzuki. Foto ini diambil setelah sesi wawancara, Februari 2011. (nina)

Mengenakan celana pendek dengan atasan hem batik menjadi salah satu ciri khas Marzuki Mohamad (Juki), penggagas Jogja Hip Hop Foundation (JFH) atau Yayasan Berkata-kata Cepat asal Jogja. Dalam berkesenian, Juki dikenal juga dengan nama Kill the DJ dan Chebolang.

Juki semakin dikenal masyarakat luas seiring meroketnya lagu Cecak Nguntal Baya pasca rekaman suap Anggodo Widjojo diperdengarkan, disusul boomingnya lagu Jogja Istimewa yang dilagukan bersama JFH. Meski kini dikenal sebagai salah satu rapper dengan kekhasan bahasa Jawa, namun jauh sebelum itu ia telah terjun di dunia seni seperti desain grafis, teater, pertunjukan musik, dan juga bisnis fesyen.

Lewat seni grafis dan musik elektronik yang pernah dilakukannya beberapa tahun lalu, Juki berkesempatan tinggal di Prancis untuk berkesenian dan diundang ke Singapura untuk memperkenalkan jenis musik yang dipilihnya.

“Ketika umur 24 tahun aku pameran dan presentasi musik elektronik di Prancis. Kesempatan itu datang karena aku dekat dengan duniaku sendiri, dunia seni yang menerima karyaku,” katanya, dalam wawancara medio Februari 2011.

Kini, terjun berkesenian dengan rap berbahasa Jawa adalah salah satu pilihannya. Mengingat perjalanan kariernya, ia mengaku memulai berkesenian dengan belajar secara otodidak. Lingkungan dan komunitas yang sesuai adalah jembatan untuk mengeksplorasi kemampuan cipta seninya.

Namun, menengok masa kecilnya, lingkungan pria yang suka bertopi ini bertolak belakang dengan kehidupan yang kini dijalaninya. Juki merupakan bungsu dari lima bersaudara yang dibesarkan dalam keluarga dengan pendidikan agama Islam yang taat. Pria kelahiran Prambanan, 21 Februari 1976 itu mengenyam pendidikan formal dalam lingkungan religius yang kental.

Seka SD tekan SMP aku hidup di pesantren dan sekolah di madrasah. Tetapi itu tidak membatasiku untuk tetap hidup seperti anak-anak lainnya, aku juga tetap nakal dan tidak alim,” ujar pemegang ijazah Madrasah Aliyah Negeri (MAN) 1 Jogja itu.

Ditemui Harian Jogja di tempat tinggalnya di daerah Langenarjan, putra ustadz H Soepartijo dan Siti Sapariyah ini bercerita bahwa kehidupannya di pesantren adalah pengalaman tersendiri dalam perjalanan hidupnya. Landasan agama yang diperolehnya turut membentuk pribadi untuk selalu berusaha menerima hidup apa adanya.

Kesan ‘apa adanya’ itulah yang coba disampaikan Juki dalam menelurkan karya lagu, termasuk Jogja Istimewa. Ia mengaku mengerjakan sesuatu berdasar apa yang dilihat, dialami, dirasakan dan diketahuinya.

Meski lagu-lagunya banyak mengungkapkan kegelisahan, namun ia mengaku bahwa dalam melakukan pekerjaan selalu berdasarkan passion. “Selain karena passion, aku beruntung berada dalam ‘habitat’ kreatif di Jogja yang memungkinkanku untuk bisa berkembang,” katanya.

Habitat kreatif yang disebutnya adalah masyarakat yang bisa menerima karya-karya, bisa berkesenian dan saling mendukung untuk berkembang dalam bidang seni termasuk lagu-lagu nyeleneh yang diciptakannya.

Walaupun terkesan nyeleneh, sejatinya lagu-lagu yang diciptakan Juki merupakan gambaran peristiwa sosial, politik, ekonomi, budaya dan lainnya yang terjadi di masyarakat. Menurutnya, lagu-lagu yang diiptakan bukan sesuatu yang ngarang. Respon masyarakat yang baik mengenai lagu yang diciptanya adalah salah satu bukti bahwa karyanya adalah cerminan peristiwa dalam masyarakat.

“Mengenai apa yang aku lakukan, yang pasti aku peduli dengan apa yang aku kerjakan, dan konsisten dengan pilihan itu,” katanya.

Leave a Reply

Fill in your details below or click an icon to log in:

WordPress.com Logo

You are commenting using your WordPress.com account. Log Out /  Change )

Facebook photo

You are commenting using your Facebook account. Log Out /  Change )

Connecting to %s