‘1000 Kisah Tentang Ibu’
Ibu bawa aku dalam doanya
Ditulis oleh anak bungsunya, Pamuji Tri Nastiti a.k.a Nina
27 September 2010
….
“Oke. Tuhan sertamu”
Begitulah seringkali kalimat akhir dalam setiap pesan singkat lewat ponsel ibu untukku. Meski tidak faham teknologi, tetapi beliau cukup bisa mengoperasikan ponsel numerik yang disetting dengan penggunaan sederhana dan pilihan tuntunan Bahasa Indonesia.
Ibu adalah sosok yang istimewa buatku. Yang aku tahu, ia selalu membawa namaku ke dalam doa-doanya. Itu tidak ia katakan, tetapi kuketahui dari rutinitasnya setiap bangun pagi dan berdoa di depan meja yang ia siapkan sendiri. Aku sangat percaya, ibu menyebutku dalam doa-doa untuk kebaikanku dan seluruh keluarga.
Ia selalu mengusap keningku saat berpamitan pergi jauh. Dalam gerakan tangannya selalu terucap “Semoga selamat sampai tujuan”. Ia mendoakanku dengan tidak mengenal waktu.
Hijau
Menurut aku, ibu suka warna hijau. Warna yang ia katakana sebagai ‘warna harapan’. ‘Warna harapan’ itu ia sampaikan padaku saat memberitahuku untuk membeli map untuk tempat karya tulisan prosa yang kubuat ketika sekolah dasar (SD) dulu. Saat itu karya prosaku akan dikirim ke tingkat Kabupaten dan ibu menyarankan memilih map warna hijau dengan harapan aku bisa menang. Buktinya aku menang sebagai runner up.
Ibu suka sekali dengan bunga dan daun-daunan yang hijau. Di rumah, disela masa pensiun dari guru sekolah dasar, ia memiliki ‘taman kecil’ di belakang rumah, dan juga jejeran pot aneka tumbuhan di halaman samping rumah.
Warna hijau juga sering dipilihnya ketika ia memilih warna cat rumah. Warna yang sama juga dipilihnya saat memesan kain lurik, kain yang sangat ia ingini, beberapa bulan lalu. Air mukanya begitu bahagia ketika keinginannya itu terjadi saat kain lurik kuberikan padanya pada Ramadan lalu. “Asik, asik, terima kasih yaaaa,” ungkapnya dengan mencium pipiku dan memegangi kain lurik itu.
Dilain sisi ibu adalah sosok yang menyebalkan buatku. Itu terjadi ketika ia seringkali ngeyel untuk hal-hal yang menurutku tidak perlu dilakukan. Sejak sepuluh tahun lalu ibu menyandang diabetes mellitus. Awal ia tahu penyakit itu pola makan dan hidupnya sungguh teratur. Tetapi, kini tidak semanis dulu, ia seringkali ‘lupa’ untuk menjaga pola makan hingga membuatku sebel melihatnya.
Yang menarik, ibuku selalu tertawa ketika disindir atau diberitahu untuk berhati-hati dengan makanan yang ia makan. Tertawanya seperti anak kecil yang seakan tidak tahu apa yang ia lakukan, ia merasa bahwa ‘aku baik-baik saja’.
Ada lagi yang selalu mengganjal dengan ulah ibuku. Dengan usianya yang kini 62 tahun, praktis kondisi fisiknya tak sekuat dulu. Ia dulu rajin menerima jahitan, mengikuti beberapa arisan dan sering membuat kue menjelang lebaran.
Kondisi fit itu kini menurun seiring usia dan diabetesnya. Tetapi, ibu masih saja ingin melakukan banyak hal seperti ketika tubuhnya segar dan sehat. Memang, ibuku sehat tetapi, sekali lagi, fisiknya itu tidak sekuat dulu.
Dulu setelah menjalankan banyak kegiatan ia tidak mengeluh capai atau berkeringat dingin. Namun tidak dengan kini, ia seringkali menggigil kedinginan karena tiba-tiba kadar glukosanya menurun atau cepat lemah karena memaksakan aktivitas gerak. Aku tahu ibuku sehat tetapi bagaimanapun juga kondisinya perlu dijaga.
Kue kacang
Kengeyelannya hampir setiap tahun berulang menjelang lebaran. Ia suka menjajal resep pembuatan kue kering padahal aktivitas itu menurutku cukup membuatnya lelah. Buktinya, setiap menjelang lebaran ia jatuh lemah, sakit karena kecapaian. Tetapi, hal itu pula yang ia lakukan setiap tahunnya. Ia selalu ingin memperlihatkan bahwa ibu sehat, tidak ada yang perlu dikuatirkan darinya.
Ya, kami anak-anaknya akhirnya memahami hal itu, bahwa ibu masih ingin berkarya lewat kue-kuenya. Meski dulu banyak jenis yang sering dibuatnya, belakangan ia hanya membuat ‘roti kacang’ atau kue kacang menjelang lebaran. Kalau waktu lebaran kemarin datang ke rumah dan makan kue kacang, itu pasti buatan ibuku.
Selain roti kacang ibu, pastinya akan ada makanan kecil yang banyak disukai anak-anak hingga orang tua dari permen, nastar, kastengel, juga brownies kukus hingga gery chocolatos. Maklum, dirumah ibu membantu salah satu kakakku jualan di warungnya yang menyediakan banyak jajanan, gery chocolatos salah satu yang dipilihnya untuk camilan hari raya.
Aku dengan ibu
Mengenai hubunganku dengan ibu, memang, aku tidak dekat sekali dengan ibu, tidak seperti cerita dalam sinetron tentang kedekatan putri dengan ibunya, juga berbeda dari banyak temanku yang begitu terbuka dan nyambung cerita apa saja besama ibunya. Tidak, aku tidak sedekat itu, tetapi aku tahu hubungan kami secara batin begitu dekat.
Bagiku dulu, Ibu adalah sosok yang cukup kaku dan agak konvensional. Kini setelah aku menyadari, hal itu bisa jadi karena ia dididik orang tua, kakek dan nenekku dengan begitu disiplin. Pun demikian juga bahwa ibu cukup kaku karena ia tidak seperti teman lainnya yang lulus SMA dan bisa bermain, tetapi ibu lulus sekolah langsung bekerja di kampung dan jauh dari rumah orang tuanya. Menurutku, secara langsung itu membentuk pribadinya yang mandiri dan disiplin.
Setelah lulus pendidikan menengah ibu tidak pernah mengajar di wilayah lain selain di wilayah Ngablak, tempat tinggalnya hingga kini. Aku sendiri, Pamuji Tri Nastiti, adalah anak keempat pasangan ibu dan bapakku. Tiga kakakku Teki Nugroho, Wahyu Kuncoro, dan Fitri Cahyani.
Diantara kami berempat hanya aku yang memiliki panggilan diluar nama asli. Aku dipanggil Nina di keluargaku, di lingkunganku dan beberapa temanku. Menurut kisah, panggilan itu muncul dari ibu, ia melafalkan nama Nina ketika dua dari tiga kakakku sulit mengucapkan ‘R’ ketika memanggilku Trina, dari kata Tri Nastiti.
Seperti kakak-kakakku, aku tinggal bersama orangtua hingga SMP, karena setelah itu aku sekolah di luar daerah dan tinggal bersama saudara lalu hidup menjadi anak kos. Selebihnya pertemuanku dengan ibu tidak terjadi setiap hari. Kini, setelah aku bekerja, pertemuanku dengan ibu tidak dapat dipastikan dengan waktu.
Ibuku adalah pensiunan guru di Desa Ngablak, Kecamatan Ngablak, Kabupaten Magelang, Jawa Tengah. Ia dilahirkan di Kota Magelang 26 Maret 1948 dengan nama Muljati. Seiring penggunaan EYD, entah sejak kapan, penulisan nama ibuku menjadi Mulyati. Hingga kelas tiga Sekolah Pendidikan Guru (SPG) ia berada di kotamadya itu.
Selapas SPG, waktu itu ibu ditempatkan mengajar di salah satu desa terpencil di Kecamatan Ngablak, Dusun Tejosari namanya. Singkat cerita, ia menikah dengan pria kampung, Sudirman, tidak lain adalah bapakku.
Begitulah, sekelumit gambaranku tentang ibu. Ibu yang selalu membawaku ke dalam doanya. Doaku juga untukmu, Ibu. I Love You.
Dengan membaca tulisan ini bisa saya simpulkan bahwa mbak sangat mencintai ibu. 🙂
Btw, saya ambil gambar mbak yang berjudul waterfall untuk posting blog saya. 🙂
LikeLike