St. Sunardi, Direktur Ilmu Religi dan Budaya (IRB), Pasca Sarjana Universitas Sanata Dharma

Pendidikan, budaya dan sastra begitu lekat padanya. “Kebudayaan itu merupakan pengalaman keseharian, cara bertahan hidup,” katanya suatu ketika.
Stanislaus Sunardi atau lebih dikenal dengan St. Sunardi memang memiliki perhatian khusus pada pengembangan kajian budaya dan sastra. Tak sedikit pemikirannya mengenai sastra dan budaya tertuang dalam penengembangan pola pendidikan di Ilmu Religi dan Budaya (IRB), Pasca Sarjana Universitas Sanata Dharma (USD).
St. Sunardi Berpetualang dalam Sastra & Budaya
Ia merupakan salah satu yang terlibat dalam pendirian IRB. “Latar belakang IRB terkait dengan kajian tentang kebudayaan pada umumnya yang dirasa terlalu disipliner. Kami mencoba mencari kajian tentang kebudayaan yang mencakup banyak ilmu mengingat tingkat komplesitas budaya yang ada,” ujarnya kepada saya dalam suatu sesi wawancara.
Secara khusus kajian kebudayaan yang dimaksud tersebut dikaitkan dengan keagamaan atau religiusitas. Menurut Sunardi, selama ini wacana keagamaan lebih banyak didominasi oleh wacana teologis, dengan demikian IRB merasa perlu untuk melihat sudut wacana keagamaan pada perspektif kebudayaan.
Kajian kebudayaan yang lintas disiplin tersebut diharapkan mampu membantu melihat fenomena kebudayaan keagamaan di Indonesia dalam konteks budaya yang lebih luas.
Menjalani pendidikan filsafat membuatnya bergelut pada ilmu budaya, sastra dan ideologi. Kala itu, ketika mendalami teologi Kristen Katolik, Sunardi ditugaskan untuk melanjutkan pendidikan S2 bahasa Arab dan Islam di Roma.
“Sebagai orang yang bekerja dalam lembaga kristen katolik saya diarahkan untuk perlu tahu dan belajar budaya lain dengan tidak setengah-setengah,” lanjutnya.
Bergeser dari studi S2nya, Sunardi melanjutkan pendidikan S3 jurusan Sastra Arab. Menurutnya, pertimbangan pemilihan sastra Arab lebih karena kajian sastra ternyata bisa membantu banyak untuk memahami berbagai persoalan sosial, politik bahkan keagamaan.
“Pengalaman saya belajar sastra menjadi bekal yang menarik untuk mengelola IRB, bukan sastra Arabnya tetapi dunia kesusateraannya,” ujar Sunardi.
Pengalaman mempelajari budaya dan sastra dilakukannya di beberapa tempat diantaranya Roma, Mesir, Damaskus, Suriah, Lebanon, Libya, dan beberapa tempat lainnya. Bagi pehobi naik gunung ini, tempat-tempat baru selalu memberi pengalaman berarti dalam pengembangan dirinya.

Sastra dan Agama
Naluri Sunardi cukup kuat untuk mempelajari budaya dan sastra Arab secara langsung. Baginya, konteks belajar bahasa Arab dan Islam mampu diterapkan untuk memahami masyarakat Indonesia yang mayoritas Islam.
Tentang dunia sastra itu sendiri, Sunardi melihat bahwa kajian sastra mengajarkan banyak hal tentang bagaimana supaya tidak melihat realitas secara hitam putih, salah dan benar.
Sastra mengajarkan banyak dimensi dalam dinamika kehidupan sehari-hari. Dengan demikian ia merasa cukup siap memasuki lembaga budaya dengan banyak perspektif seperti di IRB.
Berbicara pengalaman belajar bahasa Arab hingga tinggal di kawasan Mediterania Sunardi menangkap dan melihat ternyata ia dan masyarakat tempat ia dibesarkan belum memaksimalkan rasa ingin tahu pada budaya Timur Tengah pada umumnya.
“Masyarakat Indonesia termasuk Jogja sebagian besar memandang Timur Tengah yang hanya dibatasi pada Islam dan itu pemikiran yang terlalu miskin,” ujarnya.
Menurut pengalamannya, dunia Timur Tengah memiliki banyak hal yang menarik dan bukan hanya soal agama dan bahasa, tetapi lebih dari itu ada seni, filsafat, sosial, politik, budaya dan lainnya.
Baginya, wilayah yang dibentuk secara historis dengan perkembangan budaya yang dinamis perlu dilihat dalam banyak perspektif bukan hanya sudut pandang agama saja.
2 thoughts on “St. Sunardi”