Stanislaus Sunardi atau lebih dikenal dengan St. Sunardi merupakan pemerhati budaya dan sastra. Pengajar di Ilmu Religi dan Budaya Universitas Sanata Dharma ini merasa, pengenalannya pada budaya dan sastra begitu mempengaruhi sikap hidupnya.
Selama ia berada dan berpetualang dari satu pengalaman ke pengalaman lain baik itu mengenai keagamaan, sosial, politik dan kebudayaan, hal itu mempengaruhi sikap berkomunikasi dengan bahasa yang paling cocok untuk disampaikan.
St Sunardi Tentang Ilmu Religi & Budaya

“Ketika memasuki Ilmu Religi Budaya [Sanata Dharma], hal ini bisa dibawa dalam membawa kehidupan kebudayaan yang belum banyak dimasuki oleh lembaga pendidikan lain,” terangnya dalam kesempatan wawancara.
Orientasi keilmuan IRB memang dekat dengan sastra. Model keilmuan kebudayaan yang diterapkan banyak belajar dari dunia sastra.
“Sastra menjadi salah satu cara kami menjawab bahwa kajian kebudayaan tidak dipandang sebagai hal positivistik,” katanya.
Proses belajar tak selamanya diperoleh lewat pendidikan formal. Hal ini juga yang dialami Sunardi dalam proses pengembangan pribadinya. “Tempat dimana saya banyak belajar justru diluar lembaga formal,” kilahnya.
Misalnya saja, menurutnya belajar mengenai suatu ilmu kurang lebih sama diterapkan di lembaga pendidikan manapun. Tetapi, justru interaksi dengan masyarakat dan budaya yang ada akan mendorong penyadaran bahwa ada kekurangan dalam pendidikan di Indonesia. “Pendidikan kita itu kueang ada seninya,” cetus ayah satu putri ini.
Sunardi mengungkapkan, dalam dunia pendidikan Indonesia pada umumnya tidak diajarkan bagaimana mengapresiasi seni karena lebih banyak mengenal teori tanpa ekspresi rasa.
Baginya, belajar seni akan cukup berpengaruh pada sensitifitas, imajinasi dan juga perkembangan keilmuan seorang pribadi. Ketika pengetahuan tentang seni, sastra, musik dan lainnya dikenalkan sejak dini hal itu akan berpengaruh hingga proses perkembangan kedepannya.

Keseharian Sunardi pun juga bersinggungan dengan seni. “Salah satu konsekuensi saya di IRB yakni bertemu teman-teman seniman Jogja, kelompok seni yang sama-sama memikirkan bagaimana meningkatkan kualitas seni, kritik seni, kuratorial dan sebagainya. Saya masuk wilayah seni karena saya juga percaya bahwa lewat seni orang bisa memperjuangkan hidupnya secara jasmani dan rohani,” papar Sunardi.
Mengenai kehidupan berkesenian di Jogja, Sunardi berpendapat bahwa seni kini menghadapi tantangan pasar. Tetapi menurutnya, Jogja mempunyai kesempatan banyak untuk mengembangkan seni dan memiliki kesempatan menjadi salah satu pusat kajian dan penciptaan karya seni.
Kesibukan akademisi juga dilakukannya diluar IRB dengan mengajar dan mengembangkan pendidikan tinggi bidang seni di Pasca Sarjana UGM Program Studi Pengkajian Seni Pertujukan dan Seni Rupa juga S2 di ISI Jogja. Secara khusus ia berharap bersama teman-teman seni mampu mencari jalan keluar agar pendidikan seni semakin bermutu dan berkembang.
Dunia Pendidikan
Secara umum ia berharap bahwa dunia pendidikan segera ditata secara serius bukan hanya secara kelembagaan dan finansial tetapi juga dari sisi fungsinya untuk pendewasaan intelektual. “Jogja menjadi pusat budaya, kota pelajar, tetapi yang perlu dilihat kembali yakni apa artinya kota kebudayaan dan kota pelajar pada saat ini. Semuanya harus dirumuskan ulang dan menjadi PR bersama,” katanya.
Melihat Jogja di masa kini, Sunardi tetap berharap bahwa masyarakat Jogja mampu menjadi bagian dari learning community, masyarakat yang mau belajar ditengah gempuran consuming dan shopping comunity yang semakin berkembang.
Bagi Sunardi memahami kebudayaan sebagai sebuah kegiatan keseharian, bukan peristiwa yang lain itu perlu dilakukan.
Kebudayaan merupakan pengalaman keseharian, bagaimana menilai manusia, bukan dari baik dan buruk tetapi dari sisi manfaatnya.
2 thoughts on “St. Sunardi, Berpetualang dalam Sastra & Budaya”