
Seingatku, mengenal alat tulis ini sebelum aku sekolah. Aku sering melihatnya di meja kamar ibuku, yang seorang guru.
Juga sering melihatnya sewaktu ikut kumpulan ibu-ibu RT/RW. Maklum, waktu balita sampai kira-kira kelas empat SD, aku sering klayu, ikut ibu kumpulan atau semacam ‘arisan’.
Aku tidak ingat kapan pertama kali belajar menulis dengan pulpen, yang kuingat menulis dengan jenis tinta ini waktu kelas tiga SD, sebelumnya menulis dengan pensil.
Orang pertama yang mengajarkanku menulis aku tebak saja, tentu ibu dan bapakku. Tetapi yang sampai sekarang kuingat adalah cara Mas Teki, kakakku, mengajari menulis dan membaca [juga menggambar].
Dia yang dengan caranya sendiri membuat aku mau belajar menulis dan membaca, sebelum aku masuk TK.
Dengan pulpen Mas Teki biasanya menggambar benda sederhana seperti almari, meja, TV, radio, bola, pensil, buku, dan lainnya. Ia menggambar di sisi kiri pada lembaran notes motif batik parang warna biru tua yang telah dibagi dua kolom. Sisi kanan sengaja dikosongkan untuk menamai barang-barang dalam gambar itu.
Nah, bagian kosong di kolom kanan itulah yang harus aku isi dengan tulisan setelah aku benar menjawab jenis barangnya. Tentu saja sebelumnya dia mengajariku mengeja huruf abjad.
Mungkin sejak umur tiga tahun aku sudah bisa memegang pensil, pensil warna, krayon dan sejenisnya. Dari kecil aku suka pensil atau pulpen dengan goresan agak tipis dan tidak nggedabel, tidak kandel. Kesukaan itu aku bawa sampai sekarang…
‘Pertemananku’ dengan pensil dan yang sejenis cukup membawa beberapa pengalaman. Memang aku tidak sempat juara lomba nggambar sampai gambarnya dipasang di TK seperti Mas Ayuk, kangmasku. Atau menulis puisi dan dicetak di buku Trah seperti Mbak Fitri, mbakyuku.
Tetapi, setidaknya aku memiliki cara lain dengan pensil dan pulpenku..
Dengan pensil, aku pernah belajar menggambar bersama-sama Probo, anaknya Mas Tri dan Mbak Prih, sepupuku. Saat itu aku kelas empat dan Probo kelas tiga. Kami diajari cara menggambar sama Dik Anang, sepupu jauhku yang seorang kartunis.
Saat lomba 17-an, aku dapat juara 1Â lomba menggambar gapura, kata jurinya dimensi yang kugambar tepat [katanya sih gitu]. Setelah itu aku nggak pernah ikut lomba menggambar lagi..
Dengan pulpen, setahun kemudian, di kelas lima SD, di SD Ngablak 4 aku menang lomba mengarang tingkat Kabupaten Magelang. Juara 2 sih, tapi aku senang. Karanganku waktu itu berjudul ‘GIZI’, lombanya diselenggarakan dalam rangka Hari Kesehatan Nasional.
Aku menulis karangan semalaman. Itupun karena pada paginya tulisan ditagih Pak Sis, guru Bahasa Indonesiaku. Aku ingat, baru sekali itu aku dimarahi dan diberi kalimat yang tidak biasa kudengar.
Dia marah karena aku belum menyelesaikan menulis karangan sampai hari itu, “Payah, kowe ki ngacau tenan!!” katanya dengan wajah mangkel padaku.
Saat itu aku tidak takut, tetapi sangat sedih mendengarnya. Karena kalimat itulah, aku langsung minta uang ibu untuk membeli kertas folio F4 di warungnya Bu Las, bulik jauhku.
Lewat kertas kosong di buku tulis aku membuat poin-poin penting yang akan kuurai dalam paragraf. Semuanya kulakukan sendiri, dan setelah berulang kususun baru aku membawanya ke ibu dan memintanya untuk mengoreksi.
Bergegas aku menuliskan karangan berdasarkan poin yang sudah tersusun. Pagi, Pak Sis datang kira-kira pukul 09.00 WIB, dan aku mulai ‘lembur nulis’ mulai pukul 11.00 WIB, sepertinya kulakukan sampai sekitar pukul 15.00 atau 16.00 WIB. Nonstop!
Peraturan waktu itu meminta karangan dibuat setidaknya 1000 kata, dan untuk memastikannya aku benar-benar menghitungnya kata-per kata. Aku menghitungnya manual 3-4 kali. Sekitar 1006 kata!! Aku masih ingat.
Setelah rampung edit, kucari map untuk menyimpan hasil karya. Karena ibu nggak punya, aku minta uang lagi untuk membeli map. Ibu menyarankanku untuk membeli map dan memilih warna hijau. Warna hijau, katanya, adalah simbol pengharapan. Sugesti tentang ‘si hijau’ ini, kubawa sampai sekarang.
Kembali ke lomba mengarang bebas, penyelenggara mengumumkan pemenang lewat surat. Aku tahu karena diberitahu Pak Sis setelah diminta datang ke kantor guru. Dia membacakan hasil lomba, Â dia dibilang tidak ada juara 1, yang ada juara 2 dan 3. Entah itu benar atau tidak aku tidak tahu, aku tidak membaca surat pengumumannya.
Sehari kemudian Pak Sis bersama Bu Lili mengajakku mengambil piagam dan juga hadiah ke kantor Kabupaten. Sesampai di Kabupaten, jebul piagam untuk pemenang dan juga pialanya belum disiapkan. [bosok sekali]. Tetapi, bungkusan hadiah sudah disiapkan. Aku dapat sepaket alat tulis merek Steadler, apik tenan.
Isinya pensil mekanik, pulpen, jangka, dan isi pensil. Warnanya biru, keren dan larang waktu itu. Kalau tidak karena menang lomba, aku tidak akan pernah punya, saat itu… Sampai aku SMA kayanya masih ada, tetapi karena banyak barang-barang ‘kenanganku’ nyusuh, nyampah, sama Mas Ayuk dan Mbak Fit, hadiah itu ikut dimusnahkan.
Tahun itu, kalau nggak salah tahun 1992, waktu Olimpiade Barcelona, waktu Alan dan Susi Susanti dapat medali emas, adalah tahun baik buatku. Aku juga ikut lomba siswa teladan. Bersama Adi Irawan [Wawan] dari SD Ngablak 1, aku mewakili Kecamatan maju ke Kabupaten. Kami diantar Pak Sis dan Pak Tris ke SMA Taruna Nusantara. Sayang, tidak menang…
Nah, karena aku menang sampai maju ke Kabupaten, aku dapat hadiah khusus dari sekolah. Ikut rekreasi tahunan, gratis. Rekreasi itu untuk kelas 6 SD yang sudah lulus, tapi aku ikut mereka tanpa iuran. Aku lupa, rekreasinya kemana ya?? Salah satunya ke Taman Mini Jawa Tengah di Maerakaca, Semarang. Nggak tahu, tempat itu sekarang masih ada atau tidak.